Akhir bulan. Tinggal dua hari lagi suamiku gajian. Feni menghela nafas panjang. Selembar surat pemberitahuan dari sekolah anaknya digenggaman.
Besok memperingati Hari Kartini 21 April 2008, anak-anak memakai pakaian nasional untuk karnaval di sekolah. Masuk pukul 07.00 WIB.
Dalam dompet tinggal dua lembar lima ribuan. Dua kali belanja harian biasanya dua puluh ribu. Atau mepet ya pas sepuluh ribu. Tiap lima ribu mungkin bisa dapat tempe sepotong, sayur sop seplastik, cabe seribu, krupuk sebungkus dan jagung tiga biji. Per item tadi harganya seribu. Tidak bisa beli udang seons pun, ikan mujair paling sedikit empat ribu, apalagi ayam dan daging. Lima ribu saja Cuma dapat berapa potong daging. Feni sekali lagi menarik nafas berat. Jika besok harus karnaval, sewa baju minimal lima belas ribu. Mana cukup.
Feni memandang wajah anaknya yang sedang menonton televise sambil makan siang. Sepiring nasi putih ditambah beberapa sendok sayur asem dan sepotong tempe goring dimakannya dengan lahap. Sesekali anaknya tertawa melihat tokoh kartun di hadapannya meloncat dan terjun bebas, badannya hancur seperti puzzle lalu bisa terbentuk lagi seperti semula.
Kalau dipaksa sewa kostum tetap saja kurang lima ribu. Apa aku harus minjam baju ke mantan kepala sekolah playgroupnya dulu ya, tapi apa boleh bayarnya dua hari lagi. Feni bertanya-tanya dalam hati. “Ma…habis. Aku pinter kan,” tiba-tiba anaknya berdiri di depannya sambil mengacungkan piring kosong dengan sedikit butir-butir nasi tersisa. Feni mengangguk dan tersenyum menyaksikan buah hatinya melangkah ke dapur dan meletakkan piring kotor itu di bak cuci piring tanpa dia pinta. Feni mengacungkan jempolnya ketika anaknya kembali. “Hebat…!”pujinya. “Mas Aldo, besok ada apa ayo kok bu Guru nulis surat ke mama,” Tanya Feni untuk memancing kepekaan anaknya menerima informasi dari Gurunya. “Mmm….itu pakai baju..karnaval..jam tujuh, ah sini ma biar kubaca.” Dia menarik kertas kecil di tangan Femi. Dan membacanya persis dengan tepat. Feni bertanya lagi, “kalau besok nggak ikut bagaimana mas ?”. “Pakai baju tank saja ma. Kan belum pernah dipakai,” jawab anaknya polos. “Baju tank kan baju biasa. Ini harus baju nasional, seperti waktu karnaval kemarin lho mas.” Ingin Feni melanjutkan “ …mama nggakk punya uang untuk pinjem baju.” Seperti yang biasa dia katakana terus terang pada anaknya tiap kali tidak bisa memenuhi keinginannya. Tapi Feni mengurungkan niat. Dia memutar otak lagi. Pinjem tetangga ? terlintas sedikit dalam pikirannya. Lima belas ribu saja masa tidak mau. Toh mereka tahu aku jujur dalam mengelola uang arisan dan PKK di kelurahan. Tapi, apa mereka tidak mentertawakan suamiku. Wong bisa mendaftarkan anaknya ke sekolah SD Islam favorit yang uang pangkalnya saja hamper tiga juta kok minjem lima belas ribu buat karnaval. Nekad minjem bisa coreng moreng wajah suamiku. Feni didera dilemma. Sebelum keputusan dapat diambil dia sudah tidak bisa berpikir realistis lagi. Pokoknya jika masih belum ada jalan, lebih baik besok tidak masuk. Toh masih TK B ini. Apa ruginya bolos. Apalagi anakku sudah diterima di SD Islam favorit di daerah ini. Nggak rugi. Bertekad mengesampingkan perasaan anaknya besok, Feni menutup kasus itu di hatinya. “Ammma..!!!” anak keduanya bangun dan berteriak keras memanggilnya. Feni bangkit dan menyibukkan diri mengurus Aji yang badannya basah karena ompol.
“Aldo…!!! Aku punya mainan nih. Kamu beli nggak ,” suara Salma muncul di depan pintu pagar. Aldo meloncat menghampiri anak kecil yang tinggal di sebelah rumah. Keluar rumah lalu kembali lagi. “Ma beliin mainan itu ya. Harganya dua ribu kata pak-nya,” Aldo berdiri di depan pintu dengan kaki telanjang. “Kok nggak pakai sandal sih mas. Kemarin sudah baca buku sama mama gitu kalau telurnya cacing bisa masuk lewat kaki,” Feni mencoba mengalihkan pembicaraan. Aldo segera mengenakan sandal jepitnya. “Ma beliin ..!” suaranya sedikit keras. “Waduh mas, tadi pas belanja minta beliin bola plastic harganya tiga ribu lima ratus. Itu mama sudah maksa. Sekarang beli mainan lagi ya nggak bisa. Kalau mau tunggu tanggal dua lima, bapak dapat uang,” jelas Feni. Feni biasa berkata apa adanya kepada anaknya. Masalah keuangan juga dia latih anaknya pandai berhitung dan memahami makna dan nilai uang. Serta bisa menahan diri dan berhemat. Dengan gaji yang pas sekali karena harus membayar angsuran rumah dan ini itu Feni nekad menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Yang notabene lebih mahal daripada sekolah negeri. Tapi dia sudah memperikrakan resikonya. Salah satunya adalah sekeluarga harus berhemat. Makan hanya yang pokok saja asal memenuhi empat sehat lima sempurna. Bangsanya snack, bakso, rekreasi dan lain-lain harus melalui perhitungan anggaran yang tepat dan ketat. Feni tidak mau uang gaji suaminya meleset karena memenuhi nafsu perut. Dia mendidik anaknya juga begitu. Hemat. Tidak sedikit-sedikit minta jajan dan mainan. Karena sejak kecil sudah dibiasakan dengan percakapan model begitu, tanpa kesukaran berarti anaknya menurut. Lalu kembali ke temannya bermain berama. Malah dia berinisiatif membuat mainan sendiri meniru acara si Bolang di televise. Dia memetik daun pohon jarak, mematahkan batangnya dan meniup getahnya sehingga terbanglah gelembung-gelembung kecil seperti gelembung sabun. Feni meunjukkan sapu lidi yang bisa dia gunakan untuk menyambung dedaunan itu menjadi wayang-wayangan atau pistol-pistolan.
Esok harinya Feni didera panic. Masalah karnaval belum diputuskan. Semalam dia ingin mengatakan hal ini pada suaminya, tapi dia tidak tega. Suaminya sudah tertidur pulas jam tujuh malam. Adegan mempersiapkan Aldo sekolah menjadi menegangkan. Di pikirannya masih muncul berbagai macam pilihan. Tetapi Feni berusaha keras tidak membuat pilihan yang bisa membuat orang lain berprasangka buruk kepada keluarganya. Dengan hati masih gamang, distarternya sepeda motor Star bututnya. Suaranya yang keras memecah kesunyian perumahan yang penghuninya lebih suka berdiam di dalam rumah. Sesampai di sekolah diturunkannya Aldo di depan pagar sekolah. Setelah anaknya mencium tangannya seperti biasa dia harus putar balik dengan cepat. Harus secepat mngkin karena dia meninggalkan anak keduanya yang sedang tidur sendirian di rumah. Hanya dititipkan pada tetangga. Belum sempat dia injak gigi satu, suara pak Frans – penjaga sekolah memanggilnya. “Mbak Feni, nggak pinjem baju karnaval.” Feni menoleh cepat, “Dimana pak ?”. “Itu di dalam, ibu-ibu sudah pada milih.” Pak Frans menunjuk beberapa ibu yang sibuk mengepaskan kostum ke tubuh anaknya. “Tapi aku nggak bawa uang,” dalihku. “Ah, semua juga belum langsung bayar. Lusa juga nggak papa kok.” Mendengar jawaban pak Frans, Feni langsung mematikan mesin motornya. Dan meloncat masuk ke dalam kantor guru. disana tanpa banyak basa-basi dia mengambil sebungkus kostum lelaki Aceh yang dipilih anaknya. Dan setelah berpamitan pada guru dan kepala sekolah yang ada di situ dia kembali melesat ke rumahnya. Melesat seperti angin lembut. Hatinya ringan melayang. Beban pikirannya seketika lenyap. Dia tidak perlu malu karena belum bisa bayar uang pinjam kostum langsung. Karena di sekolah bisa menunggu sampai Sabtu. Sedangkan Jum’at saja uang gaji suaminya sudah bisa diambil. Dan anaknya tidak akan kecewa. Aldo bisa berkumpul bersama temannya dan bergembira merayakan hari Kartini. Alhamdulillah. Benar kiranya, sungguh pertolongan ALLAH itu ada di jalan yang tidak disangka-sangka. Sekecil apapun itu. Feni tersenyum , hatinya sungguh lega hari ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments