Di sal Yang terberat adalah, ketika ada seseorang datang menghampirimu dan memberitahumu dengan ringan. Bahwa nyawa bayimu
mungkin hanya 3 hari saja. Atau bahkan lihat saja nanti sore bu. Darah nifasmu bahkan belum kering. Pegal di seluruh tubuh baru
terasa. Dan itu semua terdengar ketika kamu sendirian. Tidak ada ibu, bapak, kakak maupun adikmu di sisimu. Hanya suamimu.
Yang terberat kemudian adalah dengan semua kepedihan itu kamu masih harus makan. Makan ?Ketika sedang sehat dan tidak ada peristiwa apa-apa, acara makan bisa jadi sangat menyenangkan. Apalagi di depanku terhidang
lauk pauk yang lezat. Kenyataan bahwa bayiku bermasalah, membuatku menatap hidangan itu dengan marah. Ingin rasanya
kulemparkan saja senampan sarapan pagi itu. Aku marah sekali kepada dokter yang tidak memperhalus kata-katanya ketika
memberitahukan kondisi bayiku itu. Aku kesal dengan suster yang seenaknya berteriak lantang, “bu Heni, anaknya nanti diinfus ya
!” di dalam sal kelas tiga, di hadapan semua orang. Pasien dan keluarganya. Aku seibu persen terlukai dengan “hal yang dianggap
biasa “ oleh kaum medis di rumah bersalin itu. Lalu aku ingat pada anak pertamaku, yang baru saja masuk TK A. kalau aku aku
pingsan sekarang, meratap dan tumbang, pasti aku juga akan jatuh sakit. Tak mungkin bertahan ibu yang tiga jam lalu melahirkan
terlalu sedih karena bayinya dinyatakan premature. Diluar dugaan si dokter kandungan. Aku harus kuat. Bagaimana juga dengan
nasib bayiku yang belum genap berumur 24 jam itu. Siapa yang akan menyapanya dan meberinya dorongan untuk hidup ?. maka
kuputuskan untuk menghabiskan saja jatah sarapanku itu. Airmataku mengalir tak terbendung. Aku menyendokkan nasi
sepenuh-penuhnya dan mengunyah secepat-cepatnya. Sambil menahan isak tangis di balik kelambu bed-ku. Aku tak mau ada orang
yang mendengar tangisanku. Hatiku perih. Teramat perih. Kerongkonganku sakit. Aku makan sambil menangis.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments