IMF = Ibu rumah tangga Mandiri Finansial

No comments
Finansial ???
Halah, duit lagi duit lagi.
Tapi, gimana lagi, sudah aturannya begitu. Duit, uang, okane, fulush, money, dan apapun istilahnya adalah alat tukar yang sudah disepakati semua bangsa di dunia ini. Kalau saja daun kering, beras, kain bisa jadi alat tukar seperti sistim barter di jaman dulu, mungkin uang tidak begitu diperhitungkan.

Nah,bicara uang, sebagai ibu rumah tangga pun sebenarnya tidak ingin berdiam diri saja. Wah, membahas hal ini sedikit riskan. Karena dibilang diam, toh ibu rumah tangga pekerjaannya nggak sedikit. dan mempunyai siklus atau daur berulang yang bagitu cepat. Selesai nyuci, setrika, eh, baju kotor ada lagi-ada lagi. Piring, panci semua bersih, lalu ibu masak, dan keluarga sarapan; nah kan, piring dan panci kotor pun ada lagi-ada lagi. Yah, begitulah,

Maksud berdiam diri di sini adalah diam dalam arti tidak menghasilkan karya lain selain ritme pekerjaan rumah tangga itu.
Dibilang tidak ada waktu dan tenaga lagi, yaah...gimana ya. Kalau kita lihat tayangan kaum ibu di negara lain; bisnis atau ngantor, dan full ngurus rumah juga anak, toh mereka bisa.

Atau, tidak jauh-jauhlah, pembantu rumah tangga yang harian. Misalnya pagi mereka datang dan siang/sore pulang dari rumah kita. Nah, ketika mereka pulang, kan kembali lagi mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jadi mereka bekerja dua kali. Nggak mungkin kan, mereka juga menyewa tukang cuci untuk membantu mereka di rumah. Mbulet ae rek, kalau begitu.

Saya punya hobi ngobrol dengan "wong cilik". Tukang sol sepatu, jualan mainan, PRT harian, penjual es sinom sekolahan, dll. Sambil menunggu anak saya pulang sekolah, saya sempat ngobrol dengan ibu penjual es sinom. Berapa penghasilannya sehari, cukup tidak, dan kerjaannya apa saja. Bagaimana ngatur anak-anaknya yang masih kecil dan berani ditinggal sendirian tidur di rumah, dsb. Juga di sore hari, sambil ngaso setelah beberes rumah, PRT tetangga sebelah duduk di teras saya. Dan saya ngobrol ngalor ngidul, capek nggak, gimana anaknya yang sekarang di pesantren Kediri, bahkan kadang saya nanya, gimana caranya ngasuh anak lelakinya kok bisa tidak terpengaruh anak-anak kampung yang nota bene pemabuk dan pengangguran.
Obrolan ini sangat menyenangkan saya.

Pertama, membuat saya malu, mereka lebih sulit hidupnya pasti lebih jarang mengeluh lelah daripada saya. Dan saya, yang hanya ribet memutar keuangan saja tanpa harus ikut mencari nafkah, masih juga sering merasa lelah.
Kedua, saya ikut terpacu untuk bekerja seperti mereka. Bekerja dalam arti menggunakan tenaga dan pikiran saya pribadi untuk menghasilkan uang.

Mengapa saya masih kepikiran ingin menghasilkan uang sendiri, padahal nafkah dari suami sudah cukup?
Entahlah kenapa. saya yakin bukan karena saya matre, tetapi ketika melihat para ibu pekerja itu, saya merasakan ada perbedaan. Yaitu keleluasaan mengolah keuangan pribadi. Entah untuk keluarga, anak, orang tua kita atau untuk diri sendiri.

Ini terlihat misalnya ketika ada tetangga lain yang sedang big sale di rumahnya. PRT harian tetangga saya, akan ringan saja membeli ini itu. Toh itu dari penghasilannya sendiri. Mungkin berbeda dengan orang lain, saya harus berpikir keras. Memutar otak berkali-kali, apakah keputusan saya untuk membeli tidak akan mengganggu stabilitas anggaran belanja bulanan.

Faktor lain yang mendorong saya ingin berpenghasilan adalah, ketika berkunjung ke rumah orang tua. Dan ada rencana atau kesulitan yang membutuhkan dana, wah, akan terasa ringan saja ketika kita ingin memberi orang tua, jika dana itu berasal dari kantong kita sendiri. Tidak mengambil gaji suami.

Yang terakhir adalah, kalimat-kalimat yang menusuk kalbu ketika saya membaca biografi wanita sukses,lalu dia mengatakan," saya berusaha ini karena ingin membuat anak saya bangga melihat ibunya."

Waaahh...saya pun ingin seperti itu. Tidak hanya anak, saya pun ingin sekali ibu dan bapak saya bangga mempunyai anak seperti saya.
Maka, menjadi produktif adalah tekad saya. Harus dan harus. Terlebih lagi, ibu saya sendiri pun mencontohkan hal yang sama.

Ibu saya, diminta oleh bapak berhenti dari pabrik konveksi ketika sudah melahirkan kakak pertama saya. Padahal gaji bapak sebagai TNI AL hanya setengah dari gaji ibu. Bapak berpendapat, :"anak yang diasuh ibunya sendiri, akan menjadi anak yang baik dan berhasil."
Tetapi ibu tidak patah arang. Karena ibu bertekad agar semua anaknya bisa sekolah setinggi mungkin, ibu melakukan apa saja. Buka toko, terima jahitan, terima pesanan kue atau tumpeng dan sebagainya. Dan akhirnya, disertai tirakat dan doa ibu dan bapak yang tak putus-putus, tujuh dari kedelapan anaknya bisa kuliah semua. Satu kakak perempuan yang tidak kuliah, ikut kursus salon dan rias pengantin. Dan sekarang bisa membuka salon sendiri.

Tidak disangkal,sekarang saya adalah istri yang diberi nafkah yang cukup oleh suami. Bahkan untuk sekolah anak, dll. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa kebutuhan semakin meningkat. Penghasilan tambahan bisa menjadi tabungan, baik untuk kepentingan material keluarga ataupun untuk bersedekah. Mengingat dulu, istri-istri Nabi Muhammad SAW semuanya mandiri secara finansial. Apalagi Siti Khadijah, beliau adalah pebisnis ulung yang berhasil. Dan dengan penghasilannya bisa menyokong dakwah Rasul.

Dan saya pun harus seperti Siti Khadijah.
Karena menjadi istri, menjadi ibu, bukan berarti kita harus terkukung dan diam. Kita masih bisa mempunyai rencana lain dalam hidup ini, sekaligus bisa mewujudkannya kalau kita mandiri. Mandiri secara batin, pikiran juga finansial. Karena kita juga manusia biasa, yang butuh prestasi, butuh aktualisasi diri dan butuh merasa mampu. Maka, seyogyanya para suami menyadari hal ini, dan membantu usaha istri untuk membuat dirinya sendiri mandiri. Suami tidak perlu takut bahwa si istri ini akan keblabasan, melupakan kodrat atau akan menginjak harga dirinya ketika penghasilannya lebih besar dari suami. Jika terus berpegang teguh pada tujuan awal menjadi mandiri secara finansial adalah mengikuti teladan istri Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kerjasama yang baik, pun dalam mengelola keuangan keluarga, Insya Allah akan mengantarkan keluarga pada kualitas hidup yang lebih baik. Anak-anak mendapatkan kesehatan dan pendidikan terbaik, lingkungan yang baik sehingga pembekalan yang kita berikan akan menjadi modal utama mereka menyongsong masa depan, melakukan tugas penciptaan mereka di dunia ini. Selain juga untuk berjaga-jaga, if something worst happen.

jadi, para perempuan, saudari-saudari, kaum ibu dan istri, mari mengoptimalkan semua kemampuan yang kita miliki. Asahlah kembali ketrampilan lama dan tambahlah yang baru. Lalu buatlah suatu usaha pribadi, usaha yang berbasis rumah, agar pemantauan anak dan keluarga masih di genggaman kita. Mari menjadi ibu rumah tangga berpenghasilan. Menjadi ibu rumah tangga mandiri finansial.