Malam bergerak tak begitu lambat seperti yang kukira. Entah karena aku kelelahan setelah melahirkan, akhirnya aku tertidur lelap malam itu. Dan besok paginya masih jam 4 pagi, aku sudah keluar dari kamar mandi. Mandi dan bergegas menuju ruangan bayi. Senyap. Hanya beberapa suster yang tampak. Aku hampiri anakku di inkubator. Badannya terlihat kecil sekali. Baju atasannya dipasang terbalik. Supaya mudah memasang stetoskop di dadanya untuk menghitung jumlah detak jantungnya per menit. Kalau tidak salah yang normal adalah 70 denyut per menit. Sedangkan anakku ini masih sekitar 90-100 denyut per menit. Ngos-ngosan, seperti orang habis berlari sprint. Oksigennya tidak diberikan dengan selang yang langsung masuk ke hidungnya. Melainkan sekarang dipasangkan helm oksigen. Helm ini terbuat dari wadah palstik seperti bakul nasi, dipotong bagian tertentu supaya leher anakku bisa masuk. Lalu helm itu dilubangi untuk memasukkan selang plastik berdiameter sekitar 1 cm. Oksigen murni disalurkan langsung dari selang itu. Suaranya berdesis, karena tekanan dari tabung oksigen tentu besar. Kira-kira anakku seperti memakai helm astronot. Tabung oksigen ini juga tinggi sekali. Setinggi aku. Disandarkan di samping inkubator. Inkubatornya juga sederhana menurutku. Terbuat dari triplek tebal dan kaca bening. Kira-kira 9 lampu pijar dipasang di bagian alasnya, sebagai energi panasnya. Bagian atasnya terbuka. Ada kelambu yang jarang digunakan. Di dekat kaki anakku ada jam meja warna hitam, persis seperti jam kami yang ada di rumah. Tiang infus di samping kanan. Rupanya infus sudah bisa dipasang di tangan. Tangan kiri yang terpasang jarum infus kemudian dipasang karton tebal dan dibalut dengan plester hypafix berulang-ulang. Supaya jarum infus tidak terlepas ketika tangan ini bergerak. Anakku ini tidur pulas. Matanya menutup rapat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tangan dan kakinya tidak banyak bergerak. Aku berdiri di depan inkubator. Menahan nafas berat karena berusaha keras untuk tidak menangis. "Adeekk...." aku memanggilnya lirih. "Maafin mama ya...seharusnya kamu masih di perut." Aku mengelus kakinya perlahan. Tak seberapa lama kemudian, seorang suster menyuruhku keluar.
Waktu pun mulai bergerak lambat. Aku berjalan sendirian menuju pintu depan. Ada seorang laki-laki yang tidur di kursi tunggu. Mungkin istrinya belum melahirkan. Kulihat langit yang masih gelap. Ketika menegok ke kanan dan tampak deretan kursi tunggu ibu hamil dan ruang praktek dokter, hatiku pedih. Seharusnya aku masih duduk di situ, untuk kontrol kandungan. Perutku mulai terasa tidak enak, aku kembali ke bed dan berusaha memejamkan mata. Sekitar dua jam kemudian, dokter D datang untuk memeriksa perutku. Beliau menekan-nekan perutku, entah untuk apa. Dan berkata, bagus. Selesai. Tak sedikitpun mulutku terbuka untuk mengajukan pertanyaan, dok kenapa anakku prematur ? bukannya dua hari yang lalu aku sudah datang ke dokter. Dan ketika kontrol rutin kukatakan, kok saya merasakan kontraksi ya dok. Lalu anda lihat hasil USG, anaknya sudah 2,5kg. Normal. Dan kutanyakan, apakah tidak prematur dok. Kan prediksi melahirkan tanggal 25 Oktober 2006, tepat hari raya idul fitri. Sekarang masih tanggal 5 September. Dan anda jawab, ah tidak. Besoknya saya periksakan lagi sudah bukaan 1 tipis, lalu tanggal 7 September anak saya lahir, dan ternyata prematur. Padahal kemarin anda bilang, anak saya dioksigen karena belum bisa beradaptasi. Bla..bla..bla... Tapi aku hanya tersenyum, dan malah sesekali menimpali gurauannya. Aku takut. Takut jika terlalu banyak bertanya, nanti dokternya tersinggung. Lalu anakku tidak dirawat dengan baik disini, apa nanti jadinya. Aku takut, maka aku diam.
Ternyata tak sampai sore hari, pagi ini aku bisa pulang. Aku putuskan pulang duluan supaya biaya inap tidak membengkak. Aku harus membesarkan hati meninggalkan anakku 100% pada suster dan dokter di sini. Dan harus mempersiapkan biaya perawatan anakku. Untuk itu, mau tidak mau aku harus minta tolong kepada saudara-saudaraku, karena persiapan yang kulakukan hanya untuk kelahiran normal dan sehat seperti yang diprediksikan sebelumnya. Aku tak peduli. Dan sengaja tidak memikirkan seberapa besar pinjamanku nanti dan bagaimana aku bisa mengembalikannya. Yang ada di otakku cuma satu, anakku harus hidup. Bagaimanapun caranya.
Menanti suamiku mengurus administrasi terasa sangat lama. Dari keadaan bahagia mendengar tangis anakmu pecah sesaat dia lahir, menuju kenyataan bahwa mungkin itulah tangisannya yang pertama dan terakhir. Sungguh mengaduk-aduk emosiku. Tanpa kuminta bayangan ini muncul. Anakku digendong bapaknya diselimuti kain batik [sewek/jarit] menuju rumah. Dan di rumah sudah ramai orang berkumpul untuk tahlilan mengantarkan pemakaman anakku. Ya Rabb ... bagaimana jika hal itu yang terjadi. Bagaimana aku harus mempersiapkan diri. Air mataku mengalir deras. Aku menangis tanpa suara.
Lalu aku pulang naik becak sendirian dan suamiku naik sepeda motor. Memang RSB ini dekat dengan rumah kami. Mertuaku di rumah, Aldo, anak pertamaku masih di rumah ibuku. Di Surabaya juga. Aku turun dari becak dengan hati hampa. Terlebih ketika masuk ke dalam kamar. Ranjang bayi masih kosong. Kasur masih terlipat, Sarung bantal dan spreinya masih di dalam plastik. Yang jauh-jauh hari sudah kucuci dan kupersiapkan sebelum anakku lahir. Sendiri duduk di atas tempat tidurku. Hanya mengiyakan saja ketika ibu mertuaku mengajak bicara ini itu. Pikiranku melayang ke ruangan tempat anakku berada. Hari itu juga mertuaku pulang kembali ke desa. Sebenarnya aku ingin sekali meminta ibu mertuaku tinggal. Tetapi beliau punya usaha jahit dan bordir serta nenek yang tidak bisa ditinggal. Aku pun meyakinkan mereka, semua bisa kuatasi sendiri bersama suamiku. Sejak saat itu aku sengaja bersembunyi di rumah. Aku khawatir ada tetangga yang datang ke rumah untuk menjengukku. Aku nggak mau nangis di depan mereka ketika harus menceritakan keadaan anakku. Tetapi, namanya orang Jawa, mana bisa nggak ketahuan. Ari-ari anakku kan dipendam di teras rumah. Dan diatasnya diberi kurungan serta lampu kecil. Siapapun yang melihat itu adalah tanda bahwa aku sudah melahirkan. Mereka pun datang. Dan aku terpaksa mengatakan, 'waah...adeknya masih belum pulang...'
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments