Yang ada, kakak perempuan saya no. 2, dulu masuk SMEA Swasta pinggiran. Dan itu bukan karena pilihan, melainkan karena nilainya kecil, tidak diterima di SMA Negeri.
Jadi, persepsi keluarga besar kami masih begitu. SMK adalah pelarian karena tidak diterima sekolah umum negeri.
Awalnya, saya dan suami juga merancang hal yang sama. Sealur dengan kami berdua, kami ingin anak-anak kami juga begitu. Masuk SD,SMP, SMA, kuliah, kerja.
Akan tetapi, saya mulai melihat gelagat berbeda dari anak sulung saya. Sampai suatu saat, ketika dia hampir naik kelas 2 SMP, dia bilang kalau nanti lulus, mau masuk SMK saja.
"Aku ingin tiap hari bisa "main" komputer, ma."
Itu alasan yang dibuat anakku.
Main disini, bukan sekedar main game atau main-main. Tetapi dia ingin mengeksplorasi komputer, internet, software, dunia animasi dan game developing.
"Aku ingin jadi hacker!"
Itu kalimat spontan yang dia ucapkan beberapa kali.
Hacker?
Anakku mau jadi penyusup ke database orang?
Merusak jaringan keamanan negara?
Haduh, panik. Saya panik. Terlebih suami saya, dia jauh lebih panik. Sekuat tenaga dia menolak rencana anak saya. Dia berusaha meminta saya membujuk anak saya. Dan itu saya lakukan juga.
Note: belakangan saya ketahui kalau penyusup itu bukan hacker namanya, tapi crack'er. Kalau hacker baik konotasinya. Begitulah, saya juga belum begitu paham :)
Namun, sejak mula saya tidak ingin jadi ortu yang otoriter. Saya pun tak mau hanya nuruti alur mainstream yang dianut kebanyakan orang. Saya punya patokan dan kekaguman luar biasa, kepada siapa saja yang mempunyai profesi yang disukai. Entah itu pelukis penulis, penjual tahu tek legendaris atau bahkan guru.
Saya suka sekali mengamati pancaran mata mereka, nada bicara yang berapi-api, ketika menceritakan pekerjaannya. Profesinya. Bukan jumlah harta bendanya. Saya ingin anak-anak saya seperti mereka.
Maka dari awal, saya berusaha mengamati minat dan bakat anak-anak saya. Dan sebisa mungkin saya arahkan.
Kembali ke anak sulung saya. Dia memang punya minat dan bakat besar pada dunia komputer dan Teknologi Informasi.
Saya ingat, waktu dia masih umur 3 tahun, sudah bisa mengganti screen saver komputer, tanpa diajari siapapun. Dia hanya mengamati saya dan bapaknya ketika ngetik di komputer.
Lalu berkembang dia main game di komputer. Serta apa saja dia oprek. Sampai ada file ilang, hard disk rusak bahkan motherboard yang harganya lumayan itu, kudu ganti beberapa kali.
Untuk mengatasi kegemaran main game, saya arahkan dia menulis review di blog. Namun, akhirnya dia memilih membuatnya di you tube. Dan itu semua prosedur, aplikasi, software apapun, dia pelajari sendiri, dia cari sendiri, didonlot sendiri. Kami hanya menyediakan wifi dan menambah spesifikasi CPU.
Bahkan menguprek coding pun dia coba. Itu semua berkat kegemarannya pada game Minecraft.
"Aku ingin jadi programmer!" Sekarang itulah yang ingin dikerjakannya.
Bagaimana saya jungkir baliknya?
Fiuuhhh keringat saya banjir jika mengingatnya.
Pertama, Saya berusaha keras mencari pendukung atau info alternatif bahwa pilihan anak saya tidak salah. Setiap ada kegiatan blogger yang berkaitan dengan game, coding,programer, saya ikuti. Dengan muka tembok, saya hampiri narasumbernya yang biasanya programmer atau game developer.
"Maaf mas, kenalkan saya bu Heni. Anak saya suka game, ingin belajar pemrograman dan ingin masuk SMK. Boleh kita sharing?"
Alhamdulillah mereka pada baeeek semua. Mau ngikutin aja ulah emak-emak kayak saya.
Kedua, saya masih harus meyakinkan suami saya bahwa pilihan anak saya tidak salah. Dan ini beratnya minta ampuun. Suasana rumah jadi tegaaang. Anak saya bete, suami bete. Saya kejepit di tengah.
Perlahan saya yakinkan suami, bahwa saya kenalan dengan para programmer dan game developer. Bahwa persepsi kami selama ini keliru. Mereka bukan sekedar orang malas yang kerjaannya cuma main game.
"Tapi anak kita laki-laki. Harus kerja ngasih nafkah anak istrinya nanti. Kalau SMK ntar nggak bisa kerja bagus. Cuma jadi "pekerja". Nggak bisa kuliah, susah." Begitu argumen suami saya sebelumnya.
Dan jawaban saya adalah, "justru karena anak kita laki-laki, biarkan dia ambil keputusan sendiri. Sesuai minatnya. Sekarang jamannya dunia kreatif. Buanyak peluang kerja terbuka, bahkan mereka bisa bisnis sendiri. Hey, mereka generasi Z, generasi millenial, nggak bisa dipaksa kaku seperti kita dulu. Ayo ikut aku, kenalan sama narsum yang kutemui kemarin itu."
Begitulah seorang ibu ya. Mau ada granat pun berani diinjak demi kebahagiaan anaknya.
Untunglah sekarang pamor SMK semakin naik. Terlebih kakak sulung saya bercerita tentang Jerman. Disana ekonominya kuat karena banyak lulusan SMK yang siap kerja dan buka bisnis sendiri. Beliau pun menggiatkan pentingnya SMK bersama bapak Anies Baswedan, ketika bertemu di Indonesia atau Jerman.
Begitulah. Anak saya ini akademisnya lumayan. Juara kelas dan rangking 3 paralel. Kami dulu yakin, dia akan jadi ilmuwan. Ternyata dia nggak begitu minat otak-atik rumus seperti kami. Tapi sekarang, ilmu IT nya melejit sendiri dan kami tidak paham.
Baru setelah saya ikut Coding Mum kemarin, saya sedikit ngeh dengan kerjaan anak saya.
Sekarang, saya dan suami sudah plong menerima rencana anak saya. Dia sekarang masih kelas 3 SMP atau kelas 9. Anak saya dan saya berkomitmen belajar lebih giat agar tembus ke SMKN 1 Surabaya. Yang kabarnya terbaik untuk jurusan pemrograman. Khususnya jurusan RPL (Rekayasa Piranti Lunak).
Alhamdulillah dari acara Female Dev dari Intel XDK kemarin, saya kenalan dengan YR, alumni SMKN 1 Sby. Gadis manis berjilbab lebar itu, saya akrabi sepenuh hati. Demi informasi, motivasi sekaligus tempat nanya-nanya trik lulus dan dapat masuk PENS ITS tanpa ujian.
Semoga langkah kami tepat.
Mengarahkan anak sesuai minat dan bakat.
Bagaimana pendapat anda?
Semoga menginspirasi.
- Heni Prasetyorini -
Tetap semangat ya dek ketika bersekolah di SMK dan jadilah kebanggaan bagi kedua orang tuamu hehe
ReplyDeleteSalam hangat dari Bojonegoro
Amiin, matur nuwun kak Didik
Delete