Tak Lagi Memakai Bambu Runcing! Surabaya Siap Tempur di Ajang MEA dengan Senjata Bernama SCCF

2 comments
City needs creativity to retain the high performers who have lived there for years, as well as to attract new, interesting residents. [Charles Landry].

Sepakat dengan quote dari pakde Charles diatas?
Sebagai penggagas Creative City dan Urban City di negara seberang sana, quote pakde Charles ini patut diamini.

Sebelumnya harus disepakati bersama bahwa saat ini perkembangan dunia sudah bergeser ke ranah kreatif. Generasi millenial yang lahir di bawah naungan teknologi yang berkembang sangat pesat ini tentu mempunyai pola pikir dan perilaku yang jauh berbeda dengan generasi orang tuanya. Generasi ini lebih kreatif, bergerak dan berpikir cepat, penuh rasa ingin tahu, ingin selalu connected yang dimudahkan dengan gadget dan media sosial di internet. Dan satu karakter yang sangat menyolok adalah kecenderungan mereka untuk menjadi entrepreneur (wirausahawan). Melakukan bisnis, usaha ataupun berkarya sesuai potensi, minat dan kehendak mereka pribadi.

Sekitar 30-40 tahun ke depan, roda kehidupan, roda pemerintahan akan dikendalikan oleh mereka, generasi millenial. Maka akan menjadi keniscayaan bahwa prioritas pembangunan saat ini diarahkan pada potensi kreatif generasi millenial yang saat ini mungkin masih duduk di bangku sekolah dasar.

Mengapa gaung kreatifitas, bisnis kreatif, kota kreatif bahkan negara kreatif semakin gencar terdengar belakangan ini?. Tentu ini bisa dikaitkan dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau lebih dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC).

MEA memberikan rambu-rambu kepada semua negara untuk bersiap mengerahkan semua potensinya yang ada, agar bisa bertahan bahkan berhasil bersaing secara global maupun internasional. Indonesia tidak bisa tinggal diam atau mundur sebelum berperang. Melainkan harus mempersiapkan diri semaksimal mungkin menghadapi kemajuan jaman. Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah memprioritaskan pengembangan industri, terutama industri kreatif. Bahkan Presiden Indonesia saat ini, bapak Jokowi, mempunyai visi menjadikan ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia.

Salah satu cara mewujudkan visi tersebut adalah dengan membentuk Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF). Melalui berbagai program yang dicanangkan oleh BEKRAF ini, pemerintah bertekad memperoleh pendapatan sebesar 25% Produk Domestik Bruto (PDR) dari ekonomi kreatif. Program ini ditargetkan bisa berhasil tak lebih dari sepuluh tahun ke depan.

Sebagai bagian dari masyarakat kreatif, warga Surabaya menyambut kebijakan pemerintah tersebut dengan membentuk wadah khusus. Yaitu Surabaya Creative City Forum (SCCF), sebagai wadah untuk mendukung program pemerintah dan mengubah ide kreatif menjadi bisnis kreatif.  SCCF ini telah resmi berdiri tanggal 30 Desember 2015 dan dideklarasikan pada tanggal 4 Januari 2016. SCCF juga mengikuti Indonesia Creative Cities Conference (ICCN) di Malang Jawa Timur tanggal 31 Maret 2016 - 1 April 2016. ICCN ini menghasilkan harapan pada kota Jakarta, Bandung dan Surabaya untuk bisa berkembang menjadi kota kreatif.

Kota Surabaya layak disebut sebagai kota kreatif yang sejajar dengan kota-kota kreatif dunia lainnya. Pelaku industri kreatif di Kota Pahlawan ini cukup banyak dan sudah menghasilkan produk-produk kreatif dengan kualitas yang tidak diragukan lagi. Sebagai wadah pelaku bisnis industri kreatif, SCCF siap bekerjasama dengan siapa saja, asalkan tujuannya jelas, yaitu memajukan industri kreatif di Surabaya, dan bisa mewujudkan ide-ide kreatif menjadi bisnis kreatif.

SCCF sendiri beranggotakan simpul-simpul kreatif yang ada di Surabaya. Ada lima simpul kreatif yang ingin dikuatkan ikatannya melalui Deklarasi Kolaborasi Pentahelix. Yaitu simpul dari Akademisi, Bisnis, Pemerintah, Komunitas, Media. Deklarasi ini dilakukan di Harris Hotel Surabaya, pada tanggal 4 Mei 2016.

Sebuah anugerah tak ternilai ketika saya diundang ke acara ini oleh bapak Zaenal Arifin, penjaga gawang program Coding Mum yang sedang saya ikuti sampai saat ini. Dari profil beliau inilah saya juga mengenal adanya komunitas digital kreatif di Surabaya, seperti Dilo dan SUWEC. Keduanya adalah jenis komunitas yang memang saya cari dan saya butuhkan selama ini. Bukan untuk saya pribadi saja, melainkan sebagai langkah saya mencari wadah untuk menyalurkan minat dan bakat anak-anak saya di dunia digital kreatif.

Acara dimulai dengan presentasi dari tiga pihak yang bekerja di dunia digital kreatif yang telah berkecimpung di ranah pengembangan game, animasi dan board game. Mereka adalah pak Adhicipta Wirawan founder Waroong Wars Board games dan pemilik sekolah animasi Mechanimotion, mas Maulidan Rasyid founder dari Maulidan Games, mas Ufan  founder dari Jelasin.com.

3 pembicara dari simpul bisnis digital kreatif
Ketiganya mempunyai satu benang merah penjelasan yaitu dunia digital kreatif mempunyai prospek bisnis yang bagus. Terbukti dari pencapaian kerja mereka melalui studio masing-masing yang sudah menerima konsumen dari luar negeri. Kinerja tanpa batas di dunia digital, virtual atau internet mempermudah pengembangan bisnis mereka jauh lebih cepat dan lebih luas jangkauannya. Dengan berbagi pengalaman mereka menyampaikan bahwa proses mendirikan sebuah bisnis, tentu harus mau melewati semua prosesnya. Mulai dari ide, mengemas ide, membuat prototype, sampai melakukan promosi dan manajemen keuangan dibahas satu per satu. Bukan secara detil seperti di kelas kuliah, melainkan untuk memberikan gambaran kepada peserta SCCF yang hadir saat itu, bahwa poin-poin tersebut harus dijadikan catatan penting untuk memulai bisnis apa saja, terutama bisnis di bidang digital kreatif.

Selain game dan animasi, simpul kreatif yang menjadi pembicara adalah dari pihak INFIS (Independen Film Surabaya). Menyampaikan pesan tidak hanya dari musik atau gambar, tetapi juga bisa dari film adalah tagline Infis. Mengenalkan Tristan sebagai pembuat film termuda, video yang menjadikan anak lelaki berumur 6 tahun itu ditayangkan. "Namaku, Tristan, aku suka makan mie sama dorayaki." Kami terpana sejenak dan terhibur haru melihat anak sekecil itu mempunyai kepercayaan diri yang besar untuk membuat film sekaligus berbicara dengan lancar di depan umum.

Mau difoto dek?. "Ya!", jawab Tristan
Tristan duduk di sebelah kanan saya dengan cukup tenang. Sesekali dia menggambar serius. Ketika ada kalimat dari pembicara yang menarik, dia akan menimpali dengan komentarnya yang lucu.

Melihat Tristan, saya teringat dengan anak-anak kecil dan anak muda di Surabaya. Dimana mereka bisa menyalurkan kreatifitasnya? keingintahuannya? minat dan bakatnya? terutama di dunia digital kreatif?

Pertanyaan itulah yang saya sampaikan dalam sesi tanya jawab. Bahwa saya sungguh senang telah bersentuhan, berkenalan sekaligus terlibat dalam komunitas digital kreatif di Surabaya. Namun saya masih kesulitan mencari celah untuk menemukan komunitas dan kegiatan yang sama untuk anak-anak saya, yang notabene begitu tertarik dengan dunia tersebut. Mas Maulidan, mas Adhi dan mas Ufan menyampaikan bahwa rencana membuat kegiatan untuk anak-anak sebenarnya sudah digagas cukup lama. Karena mereka merasakan butuh menemukan anak-anak yang berbakat di dunia digital, untuk kemudian mereka bina dan diajak terlibat dalam proyek kerjanya kelak

Rumah Kreatif.
"Ini mbak Heni jawabannya," bu Ita Guntari menunjukkan dua kata itu dari halaman majalah CreateMagz yang sudah dibagikan di dalam goodie bag acara SCCF ini. Bu Ita adalah kepala sekolah sekaligus founder dari IC School. Sebuah sekolah non formal untuk anak SMA berbasis kreatif dan wirausaha.

siswa IC School sedang membuat desain grafis

Saya berkenalan dengan bu Ita, ketika tak sengaja menghampiri seorang anak gadis yang asyik bekerja dengan laptop dan drawing pad di pangkuannya. Dia sedang mewarnai sebuah gambar manga. Di sudut kanan belakang, mereka dan hasil karya siswa IC School ditampilkan.

portofolio dan hasil karya siswa IC School 
Menarik sekali ketika saya berbincang hangat dengan bu Ita tentang sekolah non formal yang awalnya beliau dirikan untuk anak kandungnya sendiri, yang bingung memilih sekolah sesuai minat dan bakatnya. Beberapa berkas portofolio hasil karya siswanya, disodorkan kepada saya.

"Wow ibu, amazing. Hasilnya bagus sekali,"celetuk saya saat itu.
Desain layout, desain grafis salah satu siswanya itu tampak modern, minimalis dan kekinian. "Beberapa orang berkomentar, hasilnya sebanding dengan kinerja mahasiswa loh bu," begitu respon bu Ita.
di tangan saya adalah karya siswa IC School

Ya, wawasan saya terbuka ketika bertemu dan sedikit berbagi pikiran dengan bu Ita. Bahwa ketika anak-anak sudah menemukan minat dan bakatnya, lalu disalurkan sesuai bidang itu, maka hasilnya akan tajam dan dahsyat sekali. Anak-anak itu akan sangat mengerucut keahliannya, sangat spesifik. Namun itu tidaklah masalah. Karena sekarang adalah jamannya berkolaborasi bukan berkompetisi. Semakin spesifik keahlian, semakin jelas posisi dan profesi yang bisa diasah kelak di masa depan.

Seperti halnya konsep SCCF yang ingin mengkolaborasikan lima simpul kreatif di Surabaya, maka dilakukan Deklarasi Kolaborasi Pentahelix. Bersama wakil Walikota Surabaya, bapak Wisnu Sakti Buana, deklarasi dilakukan.

Deklarasi Pentahelix SCCF
 Deklarasi Kolaborasi Pentahelix dan Penandatangan MOU 5 simpul kreatif Surabaya

Dalam pidato sambutannya beliau menekankan dukungan terhadap program SCCF.
"Saya dan bu Risma, mendukung sepenuhnya segala kegiatan kreatif dan apapun yang bisa memajukan kota Surabaya. Surabaya adalah Surabaya, bukan kota yang lain. Bahkan ketika Kali Brantas masuk ke Surabaya saja, namanya berubah menjadi Kali Mas. Itu menunjukkan kita punya karakter yang berbeda. Saya terbuka membantu apa saja, jika ingin memutar film dari Infis dan tidak punya tempat, silahkan diputar di rumah saya seperti tempo lalu."

Tentu saja, simpul kreatif yang digagas tidak hanya seputar dunia digital, game, film dan animasi. Karena banyak aspek yang bisa diangkat dari potensi warga Surabaya. Para pengrajin, pengusaha UKM, penulis, akademisi, media, bahkan blogger juga bisa aktif terlibat semaksimal mungkin untuk mengembangkan Surabaya. SCCF bisa menjadi tempat jujukan semua unsur dan elemen masyarakat Surabaya ketika ingin mengembangkan potensinya.

Jadi, tak usah risau lagi menghadapi MEA atau tantangan apapun di masa depan.  Melalui SCCF, kita kuatkan ikatan dan lanjutkan perjalanan. Menuju Surabaya menjadi Kota Kreatif Kelas Dunia.

sumber bacaan:
1. Website Surabaya Creative City, www.surabayacreativecity.com
2. Majalah 'CreateMagz', Surabaya Creative City Forum, vol: 001, 1 Mei 2016. Free magazine
3. Penggagas Kota-Kota Kreatif di Indonesia Berkumpul, Ada Apa?
    https://m.tempo.co.read/news/2016/03/17/072754657/penggagas-kota-kota-kreatif-di-indonesia-berkumpul-ada-apa       [diakses tanggal 13 Mei 2016, pukul 09.00 WIB]

2 comments

  1. Ulasannya menerik. Sukses utk utK Heni PR dan kita semua.
    Salam,
    Junaidi
    Founder #RengTani

    ReplyDelete
  2. Terkadang agak kuatir dengan MEA ya mba. Bertanya-tanya, mampu tidak menghadapi MEA. Moga aja bangsa ini kuat ya :)

    ReplyDelete