Yakin Mau Jadi Ibu Rumah Tangga ?

14 comments
*tarik nafas panjang. 

Keluh.
Ibu-ibu sedang menatap kembali bekas peluh.
Cucian menumpuk, anak menangis, rumah berantakan.
Dapur kemasukan tikus dan kecoa, kasur penuh bekas ompol.
Jemuran baju semalam pun dengan mudahnya terguyur air hujan tanpa sempat diselamatkan.

Keluh. 
Jam kantor tak juga usai.
Peserta meeting kali ini berdebat tiada henti dan tanpa solusi.
Anak pertama mau ujian sekolah, anak kedua sedang demam di rumah.
Meeting pun usai, sang ibu pun bergegas pulang.
Namun lagi, lagi, deretan kendaraan menghadang. Macet.
Sedangkan hari sudah semakin malam.

Suasana seperti apa yang pernah dihadapi oleh ibu bekerja?
Suasana seperti apa yang pernah dihadapi oleh ibu rumah tangga?

Adakah yang malah menghadapi kedua-duanya?

Saya berani menjawab, ADA !

Wacana atas penilaian manakah yang lebih baik, IBU BEKERJA atau IBU RUMAH TANGGA ?
Seakan takkan pernah usai sampai di hari akhir nanti.
Konflik tiada akhir.
Tak tahu dimana ujung pangkalnya.
Seperti sinetron bapak-bapak yang ingin naik Haji dari berjualan bubur. Yang sudah jualan bermangkok-mangkok bubur, entah kapan berangkat hajinya.

semua SAMA BAIKNYA gitu aja, bisa kan?

Baiklah, intro dan prolog cukup sampai disini. Mohon maaf, saya jadi terusik kembali untuk menuliskan tema ibu rumah tangga, setelah melihat sliweran berita viral yang ada di sosial media saat ini. Tentang Pantaskah ibu disebut ibu ? tentang betapa baiknya menjadi Stay at Home Mom, dan sebagainya. Saya akan mencoba berbagi pengalaman pribadi di artikel saya ini.

Suatu hari, tiba-tiba saya dikontak kembali dengan teman sekamar saya waktu kos di Bandung dulu. Kami beda jurusan, tapi kuliah di kampus yang sama. Senang sekali, karena sudah hampir 5 tahun lebih hilang kontak. Dari ngobrol sana-sini, saya katakan mau kuliah lagi, S2. Teman saya ini langsung menuliskan komentarnya,
"Loh, kok kamu gitu sih Rin. Tau nggak, aku ceritain tentang kamu loh ke murid-murid aku. Kalau aku nih punya teman yang hebat. Dia ngelepasin kerjaannya di LIPI demi jadi ibu rumah tangga."

Kaget juga saya membaca komentarnya. Segera saya jawab dengan sedikit emosional. "Loh, masak aku kuliah lagi itu artinya nggak jadi ibu rumah tangga to?"

Dia pun menjawab (mungkin sadar kalau saya tersinggung), "bukan maksudku gitu. Aku ingat kamu dulu keras sekali kalau ngomong tentang pentingnya jadi ibu rumah tangga. Iya kan."

Degh.
Iya juga, saya baru sadar. Dan kembali ingat masa-masa itu. Saya berusaha membalas pesan teman saya dengan bahasa seaman mungkin. "Iya bener. Aku memang dulu keras banget. Tapi itu dulu. Sebelum aku tahu keadaan nyata dunia ibu rumah tangga ini. Nggak semua ibu-ibu bisa jadi ibu rumah tangga, mpok. Tidak semua suami bisa menyokong istrinya secara ekonomi. Dan ada juga ibu-ibu yang mempunyai kewajiban ekonomi untuk keluarga besarnya. Mungkin untuk ibunya, mungkin untuk anak dari suaminya terdahulu sementara dia segan meminta dari suaminya sekarang. Sekarang pandanganku terbuka mpok. Kita tidak bisa menentukan ini baik, ini tidak. Kita tidak tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah orang."

Teman saya pun mengakhiri chatting malam itu, dengan pertanyaan lagi, "oke, jadi setelah lulus kamu mau kerja kantoran ya?"

Sambil tertawa saya menjawabnya, "kuliah aja belum mulai mpok. Ya nggak tau deh, udah umur segini, kalau ada yang mau nerima kerja di kantornya ya mau deh aku."

"Kalau gitu ngapain kamu kuliah lagi?"

Dan pesan terakhir teman saya itu, tidak saya jawab. Saya matikan ponsel, lalu pergi tidur.

Oke,, sudah merasakan suasana hati seorang ibu rumah tangga dalam percakapan itu? apakah dia merasa termotivasi oleh temannya sendiri yang juga perempuan? atau malah terintimidasi?
coba dijawab.....

Tetapi walau sakit hati, saya bersyukur juga sudah menerima komentar itu dari teman saya. Saya jadi sadar, betapa awamnya saya waktu itu. Seenaknya menyarankan orang jadi ibu rumah tangga saja di rumah. Padahal saya tidak tahu latar belakang kehidupan orang itu. Jika bisa bertemu lagi, saya akan mohon maaf.

Saya mencoba menerima keawaman saya itu sebagai fase yang harus saya lewati. Saya menjadi ibu rumah tangga bukan karena cita-cita sejak awal. Keadaan yang memaksa saya harus membuat pilihan itu. Dan saya yakin, banyak perempuan yang mengalami hal yang sama.

Menjadi ibu rumah tangga itu tidaklah semanis yang dikatakan para artis. Banyak komentar masyarakat sekitar yang membuat sakit hati. Apalagi jika kita pernah sekolah di tempat yang kabarnya terbaik. Lulusan kampus ternama.

Seorang tetangga pernah bercerita, “Mbak, kata suamiku loh, mbak ini kok sayang banget sih nggak kerja. Mbok ya buka les privat atau apa gitu loh. Sayang kan ilmunya sia-sia.”
Eh, ternyata di rumah tetangga, saya jadi bahan obrolan suami istri itu. Saya tersenyum saja. Mereka tidak tahu bagaimana detilnya merawat anak yang lahir prematur supaya bisa tumbuh sehat dan normal, seorang diri dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jangankan memberikan les privat. Bahkan meninggalkan anak tidur dalam kamar tertutup saja, harus saya cek setiap saat sambil melihat gerak naik turun dadanya, apakah masih bernafas?. Mereka tidak tahu.

Lalu ada lagi, yang datang dengan cemberut. “Kemarin aku lembur di kantor. Capek kan. Nggak masak. Anakku belum makan. Suamiku ngomel lagi, katanya gini nih, “Kayak mbak Heni gitu loh, di rumah aja ngurus anak sama suaminya.”.  “Ya aku jawab aja mbak, kawin aja sama mbak Heni kalau gitu!”
Nah loh, saya ternganga mendengar tetangga yang kok ya sampai hati nyeritain hal itu ke saya. Kalau nggak ingat umur, bisa ambil bambu runcing nih saya. Tersinggung berat!

Beda ketika bertemu dengan kakek atau nenek tetangga sebelah, yang kebagian jatah ngasuh cucu-cucunya ketika anak dan mantunya kerja di kantor, di luar rumah. Dengan gurat wajah lelah, sambil menggendong bayi mereka menegur saya yang sedang menjemur baju. “Nyuci mbak Heni?”
Saya menjawab sopan, “nggih Uti.”
Beliau pun melanjutkan kalimatnya, “Enak ya kayak mbak Heni ini. Di rumah. Anaknya diemong sendiri, diasuh sendiri. Bisa pinter. Nggak kayak mamanya si ini nih. Kerja sampai malam lembur-lembur. Hujan kehujanan. Kasihan. Kadang sampai vertigo.”
Kalau sudah kejadian gini, maka saya cuma tersenyuuum tipis dan menatapnya iba. Nenek dan kakek itu sebenarnya lelah.

Itulah yang terjadi terutama ketika tinggal di kota besar dan kompleks perumahan. Mayoritas ibu-ibunya kerja di kantor di luar rumah. Kalau pagi sepi sekali. Tahu siapa teman saya selain kakek dan nenek tadi?
Teman saya itu para pembantu, yang sekarang disebut asisten rumah tangga. Ketika menyuapi anak pagi, siang dan sore hari, saya barengan dengan mereka. Belanja sayur ketemu mereka. Menemani anak balita bermain mencari belalang dan capung di sekitar rumah pun bersama mereka. Sempat saya iri juga loh sama mereka. Ya iri ya malu juga. Para asisten rumah tangga itu kan hebat, jadi ibu rumah tangga dobel-dobel. Mereka yang kerja mengurus rumah dan anak orang, lalu pulang harus ngurus rumah dan anaknya sendiri. Tapi kelihatannya segar bugar dan tidak kelelahan seperti saya waktu itu. Saya pun malu, mereka punya gaji dari keringatnya sendiri, sedangkan saya?

Sempat juga terpikir, kalau akhirnya kerjaan dan aktivitas sama saja kayak asisten rumah tangga, kenapa saya ditakdirkan susah-susah sekolah ya, buat apa?. Dan ketika masa itu, komentar negatif lah yang masuk dalam pikiran saya. Saya gagal? Benar. Ilmu saya sia-sia? Ya benar. Saya malas? Ya benar. Dan seterusnya.

Konflik batin ini tiada akan berhenti. Karena komentar orang juga itu-itu saja. Untuk mengatasinya, karena sudah ada sosmed dan blog, saya pun menuliskan keutamaan dan kelebihan menjadi seorang ibu rumah tangga. Terutama dari sudut pandang agama. Saya tuliskan, akan mudah mendapat pahala. Begitu berharga karena menjadi pendidik generasi penerus bangsa. Dan hal  lainnya yang secara tersirat maupun tersurat akhirnya menunjukkan bahwa ibu rumah tangga itu lebih baik daripada ibu bekerja. Sebenarnya bahan tulisan itu ya dari saya browsing sana-sini. Karena sejak kecil sampai gede, saya diajari ilmu agama cuma 2 jam seminggu di sekolah. Saya meniru tulisan-tulisan itu. 

Dalam perjalanan waktu, saya sadari bahwa saya menulis itu semua sebenarnya untuk menutupi luka batin saya sebagai ibu rumah tangga. Atau untuk memberikan kekuatan pada diri sendiri, karena lingkungan tidak bisa melakukannya untuk saya.

Fase itu sudah berusaha saya lalui dengan damai. Yang artinya, sudah saya tidak umbar-umbar lagi dalam bentuk tulisan apapun di sosmed, bahwa menjadi ibu rumah tangga itu lebih baik.

Sempat saya berpikir, apakah hal ini hanya terjadi pada diri saya saja. Ternyata tidak juga loh. Ada beberapa teman saya, yang sempat jadi pejabat penting di kantor tempatnya bekerja dulu, dan harus resign lalu jadi ibu rumah tangga, karena mengikuti suaminya ke luar kota dan luar negeri. Dari statusnya di sosmed, atau gambar yang dijadikan profil picture, saya simpulkan ternyata masalahnya sama saja seperti saya. Diremehkan karena dianggap hanya sebagai ibu rumah tangga.

Begitulah, tidak mudah menyandang gelar ini. 

Di saat seorang ibu, mengurus anak prematur sendiri tanpa dibantu neneknya atau asisten rumah tangga. Lalu berhemat habis-habisan demi biaya anak. Bercermin pun tak sempat. Lalu ketika berkumpul bersama keluarga besar, dia dikomentari, “item banget sih wajahmu, nggak pernah facial ya?!”. 

jederr...sakitnya tuh disini....!!!

Saya yakin, nyeri hati yang sama juga dialami ibu bekerja di luar rumah. Ketika sampai di rumah neneknya, tempat menitipkan anaknya untuk sementara. Baru saja membuka helm dan masuk pintu rumah neneknya, langsung diserbu anak-anak yang mulai menangis karena minta mainan, jajan atau es krim. Dan nenek yang berteriak,”hei, seharian tadi kamu nggak nangis ya. Pinter. Sekarang mama datang, kok malah nangis sih.”

Mengalami?

Menjadi ibu itu tidak mudah.
Menjadi bapak pun tidak mudah.

Tapi tidak ada wacana konflik bapak rumah tangga apakah lebih baik daripada bapak bekerja. Walaupun di dunia nyata ada yang terbalik seperti itu. Istri bekerja, suami di rumah. Namun masyarakat kita tidak mempermasalahkannya. Setidaknya tidak dijadikan ukuran kepantasan seperti yang bergema di sosial media.

Kepantasan menjadi ibu, diukur dari berapa jam bertemu anak, apakah juga bijaksana?

Saya kok jadi teringat dengan walikota Surabaya, bu Risma. Bu Risma ini bekerja sejak pukul 6 pagi. Bahkan jika ada hujan deras, tengah malam pun bu Risma pergi keluar rumah. Jika dihitung mungkin cuma 1 jam ketemu suami, 1 jam ketemu anak.

Lalu, beliau boleh disebut tidak pantas jadi ibu?

Kata “IBU” saja, begitu sakral untuk bisa disematkan dengan bebas pada kalimat analogi seperti yang sedang di-share kemana-mana saat ini.

Kita harus sangat hati-hati dalam menggunakan kata ini. Karena banyak sekali definisi ibu. Apakah ibu hanya yang melahirkan anak dari rahimnya sendiri?
Bagaimana jika ada perempuan bekerja, menikah, lalu mengasuh anak suaminya?. Dan karena kondisi, dia harus bekerja bahkan lebih dari 8 jam sehari. Apakah dia tidak pantas di sebut ibu?

Bagaimana jika ada perempuan bekerja, mengasuh anak orang, dan dengan kasus sama harus meninggalkannya lebih dari 8 jam sehari? Masih tidak pantaskan dia disebut ibu?

Kalimat analogi ini, yang menyematkan tentang IBU, hemat saya tak perlulah dituliskan. Karena dampaknya ternyata besar. Dunia ibu-ibu jadi resah. Ibu bekerja tidak terima. Ibu rumah tangga kena juga. 

Sejak bertemu beraneka kondisi ibu-ibu secara nyata di dunia ibu rumah tangga. Saya semakin menyadari bahwa kita benar-benar tidak bisa menilai orang lain baik atau buruk.

Saya meyakini, tugas manusia itu sebenarnya hanya berusaha keras berbuat baik. Urusan penilaian bukan tugas manusia, tapi tugas Pencipta Manusia. 

“Urusan-ne Gusti Alloh”, gitu kata Cak Nun. “Yang membuat manusia masuk surga itu bukan amal baiknya. Bukan jumlah tahajudnya dan puasanya. Yang bikin manusia masuk surga itu, karena Gusti Alloh ridho padanya. Titik. Ora usah repot-repot mikirin mengubah manusia. Wong manusia itu tak punya kuasa pada tahinya sendiri kok. Lah iya toh. Untuk nahan diri biar dia nggak buang air besar aja nggak bisa kan. Sekelas Nabi saja, tidak bisa mengubah anak istrinya jadi baik, kok kita yang kayak gini merasa lebih baik dari orang lain. Yo Non Sense. Mustahil.”

Membaca tulisan dan mendengar ceramah budayawan Cak Nun (Emha Ainun Najib) ini semakin menguatkan keyakinan saya. Bahwa, apalah kita ini. Mau di cap ibu rumah tangga males, Cuma glundang-glundung di rumah, ya sudah biarin saja. Mau dicap ibu bekerja, kok enak-enakan, teganya nggak ngurusin anaknya, ya sudahlah biarin saja. 

Kalau ada berita beginian, dan hati kita panas, ya tulis saja komentarnya di status. Nggak perlu nge-share beritanya atau capture picturenya. Eman-eman. Sayang. Percuma. Nanti yang emosi makin meluas. Yang jualan makin laris. Dia yang tepuk tangan. Dan kita?

Seperti halnya elektron di struktur atom. Elektron punya konfigurasinya masing-masing. Punya kamarnya masing-masing. Punya tempatnya masing-masing. Seperti halnya manusia yang punya garis hidup dan takdirnya masing-masing. Tidak ada teori yang berhasil menunjukkan bahwa garis hidup si A lebih baik dari garis hidup si B. Kalau mau dijadikan persamaan matematika, bakal ruwet. Variabelnya banyak. Otak manusia nggak mampu menjangkau. 
*ibu-ibu pecinta damai :D

Jadi ibu rumah tangga, ya kurang lebih seperti yang saya ceritakan itu keadaannya.
 Jadi ibu bekerja, ya seperti yang saya sempat amati itu keadaannya.

Namun menjadi perempuan yang semakin lebih baik ke depannya, adalah semangat yang perlu terus dijaga. Nambah keterampilan. Nambah pengetahuan. Tidak ada ilmu yang sia-sia.

Ketika ada yang berkata, “ngapain pake kuliah lagi, mending kursus kue aja bisa dagang. Menghasilkan. Cepet balik modalnya.”. Ya, sudahlah. Manusia bebas berkomentar. Kita pun tidak usah terbakar emosi dan berusaha menulis artikel untuk menjelaskan diri. Nanti ada pihak yang tersinggung, rame lagi. Menjelaskan kondisi rumah tangga kita panjang lebar juga, nggak pantes. Haduuh, ngabisin umur, tahu!! (*gitu kata Mamah Dedeh)

Ibu saya terus meyakinkan, “ilmu takkan sia-sia. Garis hidup orang itu beda-beda.” Kita hanya harus terus maju ke depan, sesuai kondisi saat ini. 

Ketika anak masih bayi, tak bisa ini itu, ya sudah dinikmati ngurus anak di rumah. Asal anak bisa sehat. Ketika keluarga masih membutuhkan uluran dana dari kita, ya nikmati kerja kantoran dengan hati lapang. Waktu yang bisa memberi jawaban.

Marilah para perempuan, kita bergandeng tangan. 
Tugas kita sudahlah sangat berat.
Mari saling menjaga hati.

Ingat, Semua orang pantas disebut IBU.
Kecuali bapak-bapak!


disclosure: tulisan ini adalah pengalaman saya pribadi. Mohon maaf jika ada kesalahan dan kurang berkenan. Salam ibu-ibu pecinta damai :)

14 comments

  1. Ibu rumah tangga atau ibu kantoran nggak masalah yang penting bisa memainkan perannya dengan baik, benar, dan ikhlas.
    Nothing wring with a house wife
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  2. Ibu rumah tangga itu cape
    Wanita kerja juga cape
    Ibu rumah tangga plus kerja malah tambah cape hehe..Be a good moms aja lah ya hoho.

    ReplyDelete
  3. wah, postingan yang mantav sekali.

    bacanya ikut greget, soalnya ngalamin sendiri aku juga..
    orang-orang sukanya komentar, peduli amat dg perjuangan di balik keputusan yang diambil (IRT full time atau wanita karir), yang mereka lihat ya mereka komentarin, Yang baik biasanya enggak kelihatan, yang jelek walau sebesar dzarrah bisa jelas banget di mata mereka. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seperti cerita keledai dan tuannya, gini dikomentari, gitu dikomentari.... :)

      Delete
  4. mau jadi ibu rumah tangga atau ibu kantoran tetep aja banyak yang komen :D mulut manusia emang buat ngomong sampai ngak ada remnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin rem nya blog? Hehehehe.
      Ya begitulah mbak Hani

      Delete
  5. Puanjuanggg ceritanya mbak. Apapun pilihannya dinikmati aja sih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini masih 10% nya cerita aslinya, #eh 😂

      Delete
    2. Ini masih 10% nya cerita aslinya, #eh 😂

      Delete
  6. Keren mbak! Ternyata saya tidak sendiri hehehe 😂

    ReplyDelete