Kemarin senja, di atas dipan bambu, anak sulungku - 8 tahun merebahkan kepalanya di pangkuanku. Air matanya sesekali mengalir pelan. Ketika mencurahkan isi hatinya habis-habisan.
What a Moment!!!
Mendengar anak bercerita, walau terpatah=patah,
tentang sedihnya dijahili terus sama adiknya-4 tahun-,
tentang sedihnya jadi korban "bullying" teman sekelasnya
tentang inginnya punya motor mainan kecil Hot Wheel.. dan kamar sendirian bebas adik.
Hatiku haru biru, campur senang, campur bingung.
Senang karena target menjadi tumpahan hati anak, berhasil sudah.
Haru karena, sesal, karena ketika dia masih di perut, keadaan hatiku membuatnya berkarakter seperti saat ini, begitu perasa. padahal dia laki-laki.
Bingung, karena di setiap permintaannya, aku ingin memenuhinya segera, sekarang juga. Namun apa daya, ada batas. Terutama karena alasan klasik : finansial.
Namun, diantara gado-gadonya perasaanku itu, aku sempatkan menyelipkan sebuah kalimat sakti yang insya Allah akan berguna bagi kita berdua kedepannya, antara ibu dan anak
kalimat itu adalah,
"Nah mas, enak mana, ngobrol cerita sama mama, atau main game dan diam saja?"
"Enakan cerita kan?" lanjutku.
Anakku mengangguk.
"HAtinya sekarang lega kan, gak terlalu sedih lagi?"
Anakq mengangguk lagi.
"NAh, mulai saat ini, berceritalah setiap hari pada mama. Atau bapak, atau kelak ke adikmu jika dia sudah ngerti nanti. Mau kan?"
Dia mengangguk lagi.
My Oh My... hatiku menghangat dan menghangat lagi...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments